Selasa, 14 Oktober 2014

Cerpen Baru ku

Uang, Cinta, Kasih Sayang dan Persahabatan

    Pagi ini ku awali dengan senyuman, langitpun terlihat cerah seakan mendukung suasana hatiku. Namaku Ambar, aku hidup dengan berkecukupan. Kedua orang tuaku selalu memberikan apa yang aku inginkan. Tapi sayang kehidupanku tak sesempurna yang kalian bayangkan. Aku kurang kasih sayang baik dari Ayah maupun Ibuku. Mereka hanya memberikanku Uang-uang dan uang. Mereka tak memikirkan bagaimana anak mereka yang tak mendapatkan kasih sayangnya. Sangat berbanding terbalik dengan yang Aqila rasakan. Aqila adalah sahabat Ambar yang selalu menemani di saat suka maupun duka. Hanya Aqila dan pembantunyalah yang memberikannya perhatian dan kasih sayang.

    Kulangkahkan kakiku, berjalahan perlahan melewati lorong- lorong kelas yang menuju arah kelasku.

“pagi Ambar” sapa Aqila, yang tengah duduk di kursi tempat Ambar dan Aqila belajar di sekolah.

“pagi Aqila” senyum kini terkembang di bibirku.

“tumben dateng pagi? Biasanyakan bel bunyi baru dateng?” tanya Aqila.

“yeee, kan sekarang pelajarannya Bu Rika. Aku gak mau kena marah dia lagi karena telat”

“ohh, semoga sampe seterusnya yah kamu dateng pagi”

“hahaha iya deh”

       Obrolan mereka berhenti begitu melihat kegaduhan di kelas. Biasanya adanya kegaduhan itu menandakan adanya pula guru yang akan masuk kelas. Apalagi pelajaran saat ini adalah pelajaran Bu Rika, guru yang terkenal tegas, dan keras. Ketika Bu Rika memasuki kelas, suasana yang tadinya bising berubah menjadi sunyi. Tak ada satu anakpun yang berani berbicara atau mengobrol di pelajaran Bu Rika. Akupun begitu, selama pelajaran berlangsung aku selalu memperhatikan dan mendengarkan dengan seksama. Kejadian dulu tak ingin ku ulang, kejadian dimana pada saat pelajaran Bu Rika berlangsung tapi aku malah melamun. Akibatnya, saat di tanya akupun hanya diam membisu tak dapat menjawab pertanyaan dari Bu Rika.

“Teettttttttt................”

       Suara bel telah berbunyi, anak – anak berhambur keluar kelas. Kubereskan buku ku, kumasukkan kedalam tasku. Ku lihat Aqila tengah berdiri memandangku seakan mengatakkan padaku agar bergegas pergi keluar meninggalkan kelas. Kuhampiri dia, kugandeng tangannya.

“lama banget, dasar lelet” gerutunya

“udahlah, nunggu bentar aja bilang lama. Dasar lebay!”

“enak aja, kamu tuh yang lebay beresin buku aja satu abad”

“ya deh, emang kita mau kemana sih?”

“ya ke kantinlah, aku udah laper tau!”

“dasar pipi bakpao”

Sesampainya di kantin, Aqila segera memesan semangkuk baso dan segelas es teh manis.

“Mbar, kamu gak makan? Kok Cuma ngeliatin aja sih?” tanyanya.

“gak ah, males”

“nanti sakit loh”

“aku sakit juga orang tuaku gak akan peduli ini. Oh ya, kita nanti pulang bareng kan ya?”

“iya lah”

Pembicaraanku terhenti begitu melihat Danar, Kapten basket sekolahku yang juga cerdas dan tampan. Sudah lama aku mengaguminya bahkan mungkin mencintainya. Namun aku tak dapat mengungkapkannya, aku tak mampu. Dia bagaikan bintang yang bersinar terang di langit. Cahayanya seakan berkelap-kelip menghiasi indahnya malam. Selalu menetramkan hatiku, andai dia tau apa yang kurasa saat ini. Mungkin, dia akan membantuku, menyemangatiku, dan mengasihiku. Tapi itu mustahil terjadi, karena yang kutau dia sedang menyukai seseorang, entahlah siapa orang yang disukainya. Aku berharap orang itu adalah aku, karena dia selalu tersenyum ketia melihatku.

“woyy, ngelamun aja. Liatin siapa sih? Danar ya? Ciee, yang suka sama Danar. Tadi dia senyum tuh” goda Aqila.

“ihhh, apaan sih? Aku emang suka dia. Tapi, mana mungin dia suka aku Aqila.”

Aqila memang selalu tahu apa yang ada dipikiranku. Diapun sudah tau bahwa sudah sejak lama aku menyukai Danar. Bahkan terkadang, dia yang menyemangatiku bahwa Danar akan menjadi kekasihku. Ya walau kutau, itu mungkin hanya dalam anganku. Tapi setidaknya dia memperhatikan dan menyayangi dengan tulus, aku sahahabatnya.

----------

“Ambar, nanti kata Ibuku. Pulang sekolah kerumahku ya, keluargaku mau ngadain syukuran kecil-kecilan. Karena ayahku naik jabatan” kata Aqila.

“wahh, selamat yah. Aku pasti dateng kok.”

Teeeeetttttttttttttttt.............................

“yaudah ayuk kita pulang, bel udah bunyi tuh” ajaknya

“ohh, yaudah yuk”

Aku dan Aqilapun berjalan keluar sekolah, bergegas pulang ke rumah Aqila. Aku sangat senang bila datang ke rumah Aqila, karena disana aku bisa merasakan hangatnya kasih sayang keluarga. Rumah mereka memang tak sebesar dan semewah rumahku. Tapi kasih sayang yang melimpah membuat mereka seakan kaya dan selalu bahagia. Andai ayah dan Ibuku seperti itu, pasti aku akan sangat nyaman dan betah dirumah.

“Assalamu’alaikum...”

“wa’alaikumsallam, ehh nak Ambar, Silahkan duduk” ujar Ibu Aqila.

“ohh, iya. Makasih tante.”

“Makasih juga nih udah mau dateng ke rumah Aqila. Soalnya sekalian mau kita kan lagi syukuran karena Ayahnya Aqila, allhamdulillah naik jabatan.”

“ohh, ya selamet ya tante.”

“iya, yaudah yuk kita makan dulu”

“ohh ya tante”

Kamipun berjalan ke arah halaman belakang, ternyata disana sudah ada Ayah Aqila yang sedang memanggang ayam. Terlihat kepulan asap disana, tapi kelihatannya Ayah Aqila masih asik dengan Ayam panggangnya. Sampai tak menyadari kehadiran kami disini.

“yahh.. ini ada Ambar. Ayamnya udah mateng belum?” teriak Ibu Aqila

“udah bu” jawab Ayahnya, sembari berjalan membawa nampan yang berisi Ayam panggang.



------------



Hari ini begitu menyenangkan, aku seperti merasa punya keluarga yang selalu menemani dan selalu ada untukku. Siang tadi, aku makan, bercanda, mengobrol, dengan keluarga Aqila. Mereka begitu ramah, andai keluargaku seperti itu.



Kulangkahkan kakiku berjalan masuk ke rumah, sekarang jam 17.30 WIB. Sudah sore memang, tapi apa peduli orang tuaku jikalau aku pulang sore. Perlahan kubuka pintu rumahku.



“Assalamu’alaikum” ucapku ketika masuk rumah.



Kulihat ada Mama di ruang keluarga. Aku berjalan melewati ruang tersebut, terdengar Mama yang memanggil namaku.



“Ambarrr. Kau tau, ini jam berapa? Darimana saja kau? Sudah sore begini baru pulang?” tanya Mama.



“ohh, Mama peduli denganku? Bukannya selama ini Mama tak perduli denganku? Bahkan Mama juga tak tau kan apa kelakuanku di luar rumah. Mama tak pernahkan menasehatiku agar jangan telat makan, jangan lupa belajar dan sebagainya? Selama ini mama tak pernah peduli denganku. Yang mama dan papa pedulikan hanya uang, uang dan uang. Tanpa pernah memikirkan anaknya yang tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuannya”



“Ambar!” teriak Mama.



Aku tak memedulikannya, aku melanjutkan ucapanku.



“Mah, aku ingin seperti orang-orang. Sering berkumpul dan bercanda dengan keluarganya. Aku ingin seperti itu mah. Uang bukan segalanya, kasih sayang lebih berharga dibanding uang. Walau hidupku bergelimang harta tapi percuma karena aku tak bahagia tanpa adanya kasih sayang kedua orang tua.”



“Ambar kau tak punya etika. Dimana sopan santunmu bila berbicara dengan orang tua?”



Plaaakk



Tamparan itu, membuatku terdiam dan berlari kekamarku. Ku tutup pintu kamarku sekeras mungkin. Ini pertama kalinya bagiku, seingatku senakal-nakalnya aku. Mama tak pernah menamparku seperti ini. Apa karena aku keterlaluan? Aku hanya ingin mama tau. Bahwa aku ingin kasih sayang bukan uang. Hanya itu yang aku mau. Aku menangis,  pipi ini terasa perih. Sakit, bahkan memerah tapi aku sadar kejadian tadi memang tidak sopan. Tapi entahlah, aku kini merasa lega karena sudah mengungkapkan isi hatiku pada mama. Walau tamparan memang yang kudapatkan.



--------------



Pagi ini, aku berangkat pagi sekali. Kulihat mama ada di kamar mandi. Dan papa yang sibuk dengan urusannya sendiri. Aku pergi tanpa pamit. Mbok, pembantuku memanggilku namun aku tetap pergi dan menghiraukannya. Aku ingin segera sampai disekolah dan menceritakannya dengan Aqila.



Sesampainya aku disekolah, aku berjalan pelan menuju kelasku. Langkahku terhenti tepat di depan pintu kelas. Aku melihat Danar dan Aqila sedang berdua. Miris rasanya, ternyata selama ini Danar tersenyum bukan untukku melainkan untuk Aqila. Kutinggal pergi saat mereka menyadari kehadiranku. Aqila memanggil-manggil namaku. Aku tak peduli, ternyata tak ada satupun orang yang menyayangiku.


Hari ini semua terasa menyakitkan, tak ada yang membuatku tertawa walau sesaat. Dikelas aku hanya terdiam, Aqila berkali-kali mengajakku berbicara, namun aku tetap terdiam membisu sampai bel pulang berbunyi.



Saat sampai dirumah, aku dibuat heran oleh Mama dan Papa yang sudah ada dirumah. Bukankah biasanya mereka sibuk berkerja? Ada yang aneh.



“Assalamu’alaikum” ucapku.



“wa’alaikum salam” jawab kedua orang tuaku.



“Ambar, duduklah dulu. Mama dan Papa ingin bicara denganmu.” Kata mama.



Aku duduk di sofa yang ada di ruang keluarga , sepertinya mereka akan berbicara hal yang serius.



“Ambar, mama dan papa minta maaf karena tak mempedulikanmu. Kami pikir uang segalanya bagimu ternyata kami salah. Kamu lebih bahagia dengan kasih sayang ketimbang dengan uang. Maka dari itu kami minta maaf, terutama mama. Mama minta maaf telah menamparmu kemarin, mama sungguh menyesal. Maafkan Mama” ungkap mama.



“ya mah, aku juga minta maaf karena kemarin sudah berbuat tidak sopan dengan mama. Dan uang bukan segalanya bagiku. Kasih sayang Mama dan Papa jauh lebih penting di banding yang lainya”



“Maka dari itu, Papa dan Mama memutuskan bila hari minggu tiba kita wajib berkumpul dan bermain bersama setuju?” Ucap papa.



“benarkah? Setuju”



Mulai dari hari itu aku dapat lagi merasakan hangatnya keluarga. Dan hari minggu menjadi hari yang paling kunanti setiap harinya. Aqila kini berpacaran dengan Danar dia sudah menceritakan semuanya. Dan aku menerimanya, aku ikhlas karena memang Danar mencintai Aqila dan menyayangi Aqila setulus aku menyayangi Aqila dan mencintai Danar. Kini aku siap untuk memendam rasa cintaku, karena memang cinta tak harus memiliki. Persahabatanku masih tetap terjalin bahkan lebih dekat dan akrab. Kehidupanku kini terasa sempurna karena mereka yang menyayangiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar