Uang, Cinta, Kasih Sayang
dan Persahabatan
Pagi
ini ku awali dengan senyuman, langitpun terlihat cerah seakan mendukung
suasana hatiku. Namaku Ambar, aku hidup dengan berkecukupan. Kedua orang tuaku
selalu memberikan apa yang aku inginkan. Tapi sayang kehidupanku tak sesempurna
yang kalian bayangkan. Aku kurang kasih sayang baik dari Ayah maupun Ibuku. Mereka
hanya memberikanku Uang-uang dan uang. Mereka tak memikirkan bagaimana anak
mereka yang tak mendapatkan kasih sayangnya. Sangat berbanding terbalik dengan
yang Aqila rasakan. Aqila adalah sahabat Ambar yang selalu menemani di saat
suka maupun duka. Hanya Aqila dan pembantunyalah yang memberikannya perhatian
dan kasih sayang.
Kulangkahkan kakiku, berjalahan perlahan melewati lorong- lorong kelas
yang menuju arah kelasku.
“pagi Ambar” sapa Aqila, yang tengah
duduk di kursi tempat Ambar dan Aqila belajar di sekolah.
“pagi Aqila” senyum kini terkembang
di bibirku.
“tumben dateng pagi? Biasanyakan bel
bunyi baru dateng?” tanya Aqila.
“yeee, kan sekarang pelajarannya Bu
Rika. Aku gak mau kena marah dia lagi karena telat”
“ohh, semoga sampe seterusnya yah
kamu dateng pagi”
“hahaha iya deh”
Obrolan mereka berhenti begitu melihat kegaduhan di kelas. Biasanya
adanya kegaduhan itu menandakan adanya pula guru yang akan masuk kelas. Apalagi
pelajaran saat ini adalah pelajaran Bu Rika, guru yang terkenal tegas, dan
keras. Ketika Bu Rika memasuki kelas, suasana yang tadinya bising berubah
menjadi sunyi. Tak ada satu anakpun yang berani berbicara atau mengobrol di
pelajaran Bu Rika. Akupun begitu, selama pelajaran berlangsung aku selalu
memperhatikan dan mendengarkan dengan seksama. Kejadian dulu tak ingin ku
ulang, kejadian dimana pada saat pelajaran Bu Rika berlangsung tapi aku malah
melamun. Akibatnya, saat di tanya akupun hanya diam membisu tak dapat menjawab
pertanyaan dari Bu Rika.
“Teettttttttt................”
Suara bel telah berbunyi, anak – anak berhambur keluar kelas. Kubereskan
buku ku, kumasukkan kedalam tasku. Ku lihat Aqila tengah berdiri memandangku
seakan mengatakkan padaku agar bergegas pergi keluar meninggalkan kelas.
Kuhampiri dia, kugandeng tangannya.
“lama banget, dasar lelet” gerutunya
“udahlah, nunggu bentar aja bilang
lama. Dasar lebay!”
“enak aja, kamu tuh yang lebay
beresin buku aja satu abad”
“ya deh, emang kita mau kemana sih?”
“ya ke kantinlah, aku udah laper
tau!”
“dasar pipi bakpao”
Sesampainya di kantin, Aqila segera
memesan semangkuk baso dan segelas es teh manis.
“Mbar, kamu gak makan? Kok Cuma
ngeliatin aja sih?” tanyanya.
“gak ah, males”
“nanti sakit loh”
“aku sakit juga orang tuaku gak akan
peduli ini. Oh ya, kita nanti pulang bareng kan ya?”
“iya lah”
Pembicaraanku terhenti begitu melihat
Danar, Kapten basket sekolahku yang juga cerdas dan tampan. Sudah lama aku
mengaguminya bahkan mungkin mencintainya. Namun aku tak dapat mengungkapkannya,
aku tak mampu. Dia bagaikan bintang yang bersinar terang di langit. Cahayanya
seakan berkelap-kelip menghiasi indahnya malam. Selalu menetramkan hatiku,
andai dia tau apa yang kurasa saat ini. Mungkin, dia akan membantuku,
menyemangatiku, dan mengasihiku. Tapi itu mustahil terjadi, karena yang kutau
dia sedang menyukai seseorang, entahlah siapa orang yang disukainya. Aku
berharap orang itu adalah aku, karena dia selalu tersenyum ketia melihatku.
“woyy, ngelamun aja. Liatin siapa
sih? Danar ya? Ciee, yang suka sama Danar. Tadi dia senyum tuh” goda Aqila.
“ihhh, apaan sih? Aku emang suka dia.
Tapi, mana mungin dia suka aku Aqila.”
Aqila memang selalu tahu apa yang ada
dipikiranku. Diapun sudah tau bahwa sudah sejak lama aku menyukai Danar. Bahkan
terkadang, dia yang menyemangatiku bahwa Danar akan menjadi kekasihku. Ya walau
kutau, itu mungkin hanya dalam anganku. Tapi setidaknya dia memperhatikan dan
menyayangi dengan tulus, aku sahahabatnya.
----------
“Ambar, nanti kata Ibuku. Pulang
sekolah kerumahku ya, keluargaku mau ngadain syukuran kecil-kecilan. Karena ayahku
naik jabatan” kata Aqila.
“wahh, selamat yah. Aku pasti dateng
kok.”
Teeeeetttttttttttttttt.............................
“yaudah ayuk kita pulang, bel udah
bunyi tuh” ajaknya
“ohh, yaudah yuk”
Aku dan Aqilapun berjalan keluar
sekolah, bergegas pulang ke rumah Aqila. Aku sangat senang bila datang ke rumah
Aqila, karena disana aku bisa merasakan hangatnya kasih sayang keluarga. Rumah
mereka memang tak sebesar dan semewah rumahku. Tapi kasih sayang yang melimpah
membuat mereka seakan kaya dan selalu bahagia. Andai ayah dan Ibuku seperti
itu, pasti aku akan sangat nyaman dan betah dirumah.
“Assalamu’alaikum...”
“wa’alaikumsallam, ehh nak Ambar,
Silahkan duduk” ujar Ibu Aqila.
“ohh, iya. Makasih tante.”
“Makasih juga nih udah mau dateng ke
rumah Aqila. Soalnya sekalian mau kita kan lagi syukuran karena Ayahnya Aqila,
allhamdulillah naik jabatan.”
“ohh, ya selamet ya tante.”
“iya, yaudah yuk kita makan dulu”
“ohh ya tante”
Kamipun berjalan ke arah halaman
belakang, ternyata disana sudah ada Ayah Aqila yang sedang memanggang ayam.
Terlihat kepulan asap disana, tapi kelihatannya Ayah Aqila masih asik dengan
Ayam panggangnya. Sampai tak menyadari kehadiran kami disini.
“yahh.. ini ada Ambar. Ayamnya udah
mateng belum?” teriak Ibu Aqila
“udah
bu” jawab Ayahnya, sembari berjalan membawa nampan yang berisi Ayam panggang.
------------
Hari
ini begitu menyenangkan, aku seperti merasa punya keluarga yang selalu menemani
dan selalu ada untukku. Siang tadi, aku makan, bercanda, mengobrol, dengan
keluarga Aqila. Mereka begitu ramah, andai keluargaku seperti itu.
Kulangkahkan
kakiku berjalan masuk ke rumah, sekarang jam 17.30 WIB. Sudah sore memang, tapi
apa peduli orang tuaku jikalau aku pulang sore. Perlahan kubuka pintu rumahku.
“Assalamu’alaikum”
ucapku ketika masuk rumah.
Kulihat
ada Mama di ruang keluarga. Aku berjalan melewati ruang tersebut, terdengar
Mama yang memanggil namaku.
“Ambarrr.
Kau tau, ini jam berapa? Darimana saja kau? Sudah sore begini baru pulang?”
tanya Mama.
“ohh,
Mama peduli denganku? Bukannya selama ini Mama tak perduli denganku? Bahkan
Mama juga tak tau kan apa kelakuanku di luar rumah. Mama tak pernahkan
menasehatiku agar jangan telat makan, jangan lupa belajar dan sebagainya?
Selama ini mama tak pernah peduli denganku. Yang mama dan papa pedulikan hanya
uang, uang dan uang. Tanpa pernah memikirkan anaknya yang tumbuh tanpa kasih
sayang kedua orang tuannya”
“Ambar!”
teriak Mama.
Aku
tak memedulikannya, aku melanjutkan ucapanku.
“Mah,
aku ingin seperti orang-orang. Sering berkumpul dan bercanda dengan
keluarganya. Aku ingin seperti itu mah. Uang bukan segalanya, kasih sayang
lebih berharga dibanding uang. Walau hidupku bergelimang harta tapi percuma
karena aku tak bahagia tanpa adanya kasih sayang kedua orang tua.”
“Ambar
kau tak punya etika. Dimana sopan santunmu bila berbicara dengan orang tua?”
Plaaakk
Tamparan
itu, membuatku terdiam dan berlari kekamarku. Ku tutup pintu kamarku sekeras
mungkin. Ini pertama kalinya bagiku, seingatku senakal-nakalnya aku. Mama tak
pernah menamparku seperti ini. Apa karena aku keterlaluan? Aku hanya ingin mama
tau. Bahwa aku ingin kasih sayang bukan uang. Hanya itu yang aku mau. Aku
menangis, pipi ini terasa perih. Sakit,
bahkan memerah tapi aku sadar kejadian tadi memang tidak sopan. Tapi entahlah,
aku kini merasa lega karena sudah mengungkapkan isi hatiku pada mama. Walau
tamparan memang yang kudapatkan.
--------------
Pagi
ini, aku berangkat pagi sekali. Kulihat mama ada di kamar mandi. Dan papa yang
sibuk dengan urusannya sendiri. Aku pergi tanpa pamit. Mbok, pembantuku
memanggilku namun aku tetap pergi dan menghiraukannya. Aku ingin segera sampai
disekolah dan menceritakannya dengan Aqila.
Sesampainya
aku disekolah, aku berjalan pelan menuju kelasku. Langkahku terhenti tepat di
depan pintu kelas. Aku melihat Danar dan Aqila sedang berdua. Miris rasanya,
ternyata selama ini Danar tersenyum bukan untukku melainkan untuk Aqila.
Kutinggal pergi saat mereka menyadari kehadiranku. Aqila memanggil-manggil
namaku. Aku tak peduli, ternyata tak ada satupun orang yang menyayangiku.
Hari
ini semua terasa menyakitkan, tak ada yang membuatku tertawa walau sesaat.
Dikelas aku hanya terdiam, Aqila berkali-kali mengajakku berbicara, namun aku
tetap terdiam membisu sampai bel pulang berbunyi.
Saat
sampai dirumah, aku dibuat heran oleh Mama dan Papa yang sudah ada dirumah.
Bukankah biasanya mereka sibuk berkerja? Ada yang aneh.
“Assalamu’alaikum”
ucapku.
“wa’alaikum
salam” jawab kedua orang tuaku.
“Ambar,
duduklah dulu. Mama dan Papa ingin bicara denganmu.” Kata mama.
Aku
duduk di sofa yang ada di ruang keluarga , sepertinya mereka akan berbicara hal
yang serius.
“Ambar,
mama dan papa minta maaf karena tak mempedulikanmu. Kami pikir uang segalanya
bagimu ternyata kami salah. Kamu lebih bahagia dengan kasih sayang ketimbang
dengan uang. Maka dari itu kami minta maaf, terutama mama. Mama minta maaf
telah menamparmu kemarin, mama sungguh menyesal. Maafkan Mama” ungkap mama.
“ya
mah, aku juga minta maaf karena kemarin sudah berbuat tidak sopan dengan mama.
Dan uang bukan segalanya bagiku. Kasih sayang Mama dan Papa jauh lebih penting
di banding yang lainya”
“Maka
dari itu, Papa dan Mama memutuskan bila hari minggu tiba kita wajib berkumpul
dan bermain bersama setuju?” Ucap papa.
“benarkah?
Setuju”
Mulai
dari hari itu aku dapat lagi merasakan hangatnya keluarga. Dan hari minggu
menjadi hari yang paling kunanti setiap harinya. Aqila kini berpacaran dengan
Danar dia sudah menceritakan semuanya. Dan aku menerimanya, aku ikhlas karena
memang Danar mencintai Aqila dan menyayangi Aqila setulus aku menyayangi Aqila
dan mencintai Danar. Kini aku siap untuk memendam rasa cintaku, karena memang
cinta tak harus memiliki. Persahabatanku masih tetap terjalin bahkan lebih
dekat dan akrab. Kehidupanku kini terasa sempurna karena mereka yang
menyayangiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar